Jumat, 03 Januari 2014

Urgensi Gramatikal Bahasa Arab Terhadap Penafsiran Al-Qur’an



URGENSI GRAMATIKAL BAHASA ARAB TERHADAP PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Oleh: Sitti Rahmah Syarifuddin

PENDAHULUAN

            Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena ia merupakan media yang dipergunakan manusia untuk berkomunikasi satu sama lain. Keberadaan bahasa sebagai media komunikasi memungkinkan manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya sehingga terjadilah dinamika kehidupan yang mengantarkan tegaknya peradaban manusia di berbagai belahan dunia.

Selain manusia sebagai makhluk sosial, ia juga sebagai makhluk religius yang tidak dapat dipisahkan dengan persoalan-persoalan ketuhanan mengingat besarnya ketergantungan manusia dengan Tuhan maka ia dituntut pula untuk memahami bahasa Tuhan, baik yang tampak di alam jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) maupun yang termaktub dalam kitab Alquran (ayat-ayat qauliyah).[1]
Keberadaan Alquran sebagai bahasa Tuhan selalu relevan dengna kondisi sosial umat manusia di setiap zaman.[2] Hal ini terbukti dengan keberadaan Alquran yang bersifat universal, kondusif, dan fleksibel. Hal ini menunjukkan kekomunikatifan Alquran dalam menerima berbagai interpretasi, sehingga bisa tetap eksis di tengah perubahan dan perkembangan zaman yang berjalan secara dinamis.
Salah satu aspek kebahasaan yang terpenting dalam penafsiran Alquran adalah aspek qawaid atau gramatikal kebahasaan, yang meliputi kaidah qur’aniyah[3] dan kaidah bahasa Arab.[4] Terabaikannya kedua aspek gramatikal kebahasaan dalam penafsiran tersebut, akan berimplikasi terhadap keliberalan interpretasi, sehingga cenderung bernuansa pemikiran yang hampa dari nuansa tafsir, bahkan bisa lepas dari makna nash syar’iy secara keseluruhan. Oleh karena itu penafsiran hendaknya berawal dari analisis kebahasaan sebagai dasar untuk melangkah kepada analisis dan interpretasi ayat yang lebih kompleks.
Salah satu aspek qawaid  yang banyak terdapat dalam Alquran adalah: الضمير , التذكير , التأنيث , الإتصال , الإنتصال , المستتير . Setiap aspek qawaid tersebut tentunya mengandung makna yang berbeda sehingga berimplikasi terhadap pemaknaan ayat yang berbeda pula.
Peranan gramatikal bahasa yang demikian penting dalam penafsiran mengharuskan para mufassir untuk menekuni pesoalan-persoalan kebahasaan, sebab dalam aturan kebahasaan tersebut terkandung tata cara pemaknaan lafaz-lafaz Alquran yang sangat berpengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat Alquran. Urgensi gramatikal bahasa Arab dalam menafsirkan Alquran mengingat bahwa gramatikal merupakan hal terpenting dalam memahami ayat-ayat Alquran secara komprehensif dalam proses penginterpretasian atau penafsiran pesan-pesan Alquran.
Mencermati persoalan gramatikal bahasa Arab sebagai salah satu aspek terpenting dalam penerjemahan dan penafsiran Alquran, maka dalam makalah ini akan dibahas.


II. PEMBAHASAN


A.         Tinjauan Umum tentang Gramatikal Bahasa Alquran
            Alquran mengandung kedalaman makna bahasa dalam menyampaikan pesan-pesan Ilahiyah kepada umat manusia kedalaman makna bahasa itu terungkap melalui berbagai sistem kebahasaan, termasuk di antaranya ketepatan makna kosakata dalam setiap konteks ayat, keteraturan gramatikal bahasa serta keindahan uslub yang digunakannya. Semua itu memungkinkan manusia untuk dapat berkomunikasi dengan Alquran melalui pemahaman terhadap sistem kebahasaan yang dimaksud. Inilah dimensi kekomunikatifan Alquran sebagai pedoman hidup umat manusia.
            Hal lain yang menjadi kekomunikatifan Alquran adalah diturunkannya Alquran dalam bahasa Arab di negeri Arab sebagai objek dakwah Islam pada awal penyiarannya. Kondisi ini memungkinkan pula umat Islam Arab dapat melakukan eksplorasi terhadap ayat-ayat Alquran, termasuk menelusuri gejala-gejala keteraturan kaidah kebahasaan yang berlaku padanya. Sebagai hasil dari eksplorasi itu, salah seorang penemu qawaid ternama yang dikenal dalam sejarah peletakan dasar ilmu nahwu yaitu Abu al-Aswad al-Diwali (w. 67 H). Beliau memberikan harakat bagi huruf terakhir setiap kosakata dalam Alquran. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kesalahan umat Islam dalam membaca Alquran.
            Penemuan Abu al-Aswad al-Diwali tersebut selanjutnya diteruskan oleh ulama generasi sesudahnya dengan menyusun kaidah nahwu berdasarkan indikator-indikator kaidah kebahasaan umum yang berlaku dalam Alquran. Rumusan ini kemudian disebut dengan nahwu (gramatikal) bahasa Arab sebagai bahasa Alquran.
            Adapun pengecualian dari indikator-indikator kaidah kebahasaan yang dimaksud, dikenal oleh kalangan mufassirin sebagai kaidah (gramatikal) bahasa Alquran, yaitu kaidah-kaidah bahasa Alquran yang tidak tercover dalam bahasa Arab, karena keunikannya dari indikator-indikator kebahasaan yang berlaku pada umumnya. Itulah salah satu aspek kemukjizatan Alquran. Dengan demikian, para mufassir mengenal kedua pengklasifikasian gramatikal bahasa Arab dan gramatikal bahasa Alquran.

B. Aspek-aspek  kebahasaan dalam Alquran

            Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa Alquran adalah bahasa Arab yang memiliki nilai sastra yang sangat tinggi dan tak tertandingi oleh siapapun dan sampai kapanpun. Olehnya itu, aspek kebahasaan  yang dimaksud di sini adalah aspek bahasa Arab yang menjadi bahasa Alquran. Diantara aspek tersebut adalah:
  1. Aspek nahwu (tata bahasa). Aspek ini menentukan posisi kata dalam suatu kalimat. Penentuan posisi kata tersebut terbagi kepada empat tanda i’rab yakni: marfu’, mansub, majrur, majzum. Keempat tanda i’rab tersebut menentukan harakat terakhir pada setiap kata dalam suatu kalimat. Dengan demikian, aspek ini merupakan suatu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang menentukan objek kajiannya pada penentuan posisi kata dalam harakat terakhir pada setiap kata dalam suatu kalimat (jumlah).
  2. Aspek saraf (morfologi), aspek ini mempelajari perubahan kata dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan makna. Kalau pada fiil, maka penekanannya ada pada dimensi waktu pelaksanaannya sementara pada isim, penekanannya ada pada keragaman makna benda itu. Dengan demikian, morfologi ini merupakan satu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang menekankan obyek kajiannya pada perubahan bentuk  kata.
  3. Aspek Balagah (Stilistika), aspek ini mempelajari tentang using-using bahasa Arab, makna yang tersirat di balik yang tersurat pada ungkapan-uangkapan yang berbahasa Arab. Dengan demikian aspek ini merupakan satu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang menekankan obyek kajiannya pada bahasa dalam bahasa Arab.
  4. Aspek Harf (Kata Depan), aspek ini mempelajari tentang penggunaan kata depan dalam bahasa Arab yang membawa pada keragaman kesan makna yang termuat pada satu kalimat. Dengan demikian aspek ini merupakan satu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang menekankan obyek kajiannya pada Harf (kata depan) untuk tercapainya ketepatan makna dan kecocokan uslub bahasa.
  5. Aspek Qira’ah (Cara Baca), aspek ini mempelajari tentang kemungkinan keragaman bacaan Alquran. Oleh ulama Qiraah menyebutnya ada tujuh bacaan yang dinilai Qiraat Sahihah dan bahkan ada sepuluh yang populer. Keragaman bacaan ayat Alquran sudah pasti berakibat pada keragaman makna daan interpretasi. Dengan demikian aspek ini merupakan satu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang menekankan obyek kajiannya pada sebab terjadinya keragaman bacaan dan segala permasalahan yang terkait dengannya. Keragaman bacaan tersebut lebih difokuskan pada naskah Alquran.
  6. Aspek Dalalah ( Semantik), aspek ini mempelajari tentang maksud yang dapat dipahami dari satu kalimat. Oleh karena terkadang satu lafaz itu mempunyai arti lebih dari satu dan bahkan ada diantaranya memuat dua arti yang saling berlawanan, padahal berasal dari satu kata. Kemungkinan tersebut membawa pada perselisihan pendapat dalam memahami satu kata yang memiliki makna yang beragam. Dengan demikian, aspek ini merupakan satu displin ilmu dalam bahasa Arab  yang menekankan obyek kajiannya pada maksud yaang termuat dalam redaksi bahasa Arab.
  7. Struktur kata dalam kalimat, aspek ini juga merupakan satu disiplin ilmu dalam bahsa Arab yang menekankan obyek kajiannya pada susunan kata dalam kalimat yang memungkinkan berbeda dengan kalimat yang lain tanpa perubahan komponen lafaz yang digunakannya yang nampak berbeda dengan yang lain. Akan tetapi, perbedaan letak lafaz tersebut berimplikasi pada penekanan maksud yang diinginkan kalimat itu.[5]
  8. Aspek Interpretasi (المفهوم والمنطوق), aspek ini juga merupakan satu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang secara tersendiri memfokuskan objek kajiannya pada pemaknaan redaksi kalimat yang sering diistilahkan dengan interpretasi tekstual dan kontekstual.
Contoh-contohnya:
1.      دخل محمد في الفصل , kata الفصل diberi garis kasrah oleh karena dimasuki amil jar (huruf jar).
2.      Yang terjadi pada isim, فَعْلاً   فَاعِلٌ   مَفْعُوْلٌ   مَفْعَلٌ    مِفعَلٌ
      Yang terjadi pada fi’il,  فعل       يفعل       افعل
      Dari delapan bentuk lafaz tersebut semuanya bersumber dari satu akar kata yaitu فعل
3.   Alquran mengatakan إياك نعبد   dan tidak mengatakan  نعبدك , dan semua sama karena  pengabdian hamba itu hanya terpusat kepada Zat yang Maha Esa sehingga bentuk pertamalah yang lebih tepat menyampaikan maksud tersebut.
4. تب عليكم  dan كتب إليكم untuk maksud “diwajibkan atas kamu sekalian”, maka penggunaan huruf jar على lebih tepat dan lebih sesuai dengan kaedah bahasa.
5.   Lafaz ملك pada ayat ملك يوم الدين  terkadang diperselisihkan bacaannya. Ada yang mebaca مَلِكِ yang berarti raja dan ada pula yang membaca مالك yang berarti menguasai. Keduanya adalah bacaan yang dibenarkan oleh ulama.
6.      Alquran mengatakan بأنفسهن ثلاثة قروء والمطلقات يتربصن . Kata قروء kadang berarti الحيض juga berarti الطهور .  Sementara kedua makna tersebut saling kontradiktif.
7.       Alquran mengatakan إن الله خبير بما تعملون . Lalu di ayat yang lain mengatakan إن الله بما تعملون خبير . Keduanya memberi penekanan pada bahagian yang tidak sama. Potongan ayat yang pertama menekankan maksud pada sifat Kemahatahuan-Nya, sedangkan yang kedua menekankan pada perbuatan hamba-Nya.

B.           Pengaruh Aspek Kebahasaan dalam Menafsirkan Alquran

            Dari semua aspek kebahasaan Alquran, masing-masing memiliki pengaruh yang signifikan dalam hal menafsirkan ayat-ayat Alquran. Ilmu nahwu misalnya, yang mencoba menentukan posisi kata dalam kalimat. Perubahan posisi atau status kata pada kalimat sudah pasti berimplikasi pada perubahan maksud pada kalimat itu. Dalam konteks ini ayat yang sering dicontohkan adalah: إنما يخشى الله من عباده العلماء , pada ayat ini terdapat tiga kemungkinan bacaan, yaitu:
  1. إنما يخشى الله ُمن عباده العلماءَ
  2. إنما يخشى الله ُمن عباده العلماءِ
  3. إنما يخشى الله َمن عباده العلماءُ
Pada bacaan pertama, lafaz الله berposisi sebagai فاعل (subjek), maka hukumnya مرفوع بالضمة , sementara lafaz العلماء berposisi sebagai مفعول به , maka hukumnya منصوب بالفته . Sehingga arti dari bacaan tersebut adalah “Sesungguhnya Allah hanya takut kepada ulama dari hamba-hamba-Nya.”
Pada bacaan kedua, lafaz الله seperti semula, sementara العلماء  berposisi sebagai sifat, maka hukumnya مجرور بالكسرة . sehingga arti dari bacaan tersebut adalah “Sesungguhnya Allah hanya takut kepada sebahagian hamba-hamba-Nya yang ulama”.
Pada bacaan ketiga, lafaz الله berposisi sebagai مفعول به maka hukumnya منصوب بالفتحة , sementara العلماء berposisi sebagai فاعل مؤخر , maka hukumnya مرفوع بالضمة , sehingga arti dari bacaan tersebut adalah “Sesungguhnya hanya ulamalah dari hamba-hamba Allah yang takut/bertakwa kepada-Nya”.[6]
Dari ketiga bacaan tersebut, dua yang pertama “bacaan satu dan dua” adalah bacaan yang sesat, bagi yang membaca seperti itu akan berimplikasi kepada kekufuran. Hanya bacaan pertamalah yang benar dan lebih selamat dari perbuatan yang berimplikasi kepada kekufuran dan semacamnya.
             Dari contoh yang sederhana ini, dapat memberi gambaran kepada kita betapa urgennya gramatikal “tata bahasa” Arab dalam memberi penafsiran ayat-ayat Alqur’an.
             Kemudian ilmu saraf (morfologi) yang mempelajari perubahan bentuk kata dari suatu bentuk ke bentuk yang lain yang bersumber dari satu akar yang sama juga memiliki peranan yang signifikan. Di antara contoh yang paling sering ditampilkan adalah perbedaan kata مالك  dengan ملك  yang bersumber dari akar kata مَلَكَ , yang pertama berarti pemilik dan yang kedua berarti raja (penguasa).
             Kedua bacaan tersebut, jika dikaitkan dengan QS. al-Fatihah (1): 4 ملك يوم الدين , maka terdapat dua persepsi bacaan. Sebagian ulama  membaca مالك (ada alif setelah mim). Sementara ulama yang lain membacanya ملك (tanpa alif setelah mim).
             Ulama yang pertama berpendapat bahwa penggunaan lafaz مالك berarti memiliki kekuasaan untuk bertindak sepenuhnya tanpa ada sesuatu yang bisa merintanginya. Kemudian Allah swt sendiri berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 26 yang berbunyi:

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (26)
             Berbeda dengan kata ملك yang berarti raja, tidak mutlak menguasai sepenuhnya semua komponen dalam wilayah kekuasaannya, seperti dalam penggunaan ملك الروم yang berarti raja Romawi. Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa bacaan مالك lebih tepat dari ملك.
             Ulama yang kedua berpendapat bahwa, bacaan ملك  lebih tepat dari مالك, oleh karena bacaan ملك  lebih menyatakan kemahaagungan Allah dan kemahakuasaan-Nya terhadap segala yang ada. الملك berarti raja di antara semua raja yang menguasai segala-galanya. Abu Ali al-Fadl ibn al-Hasan al-Tabarsi lebih jelas menguraikan dalam tafsirnya.[7]
             Dari gambaran tersebut, terlihat pula dengan jelas signifikansi morfologi bahasa Arab dalam mempengaruhi penafsiran ayat Alquran.
             Selain dari aspek nahwu dan saraf, aspek lain yang juga penting menjadi karakteristik bahasa Arab adalah al-Muradif wa al-Musytarak. Lafaz yang memiliki sinonim satu atau lebih disebut murodif al-Ma’na seperti lafaz العسل memiliki 80 sinonim, الثعبان memiliki 200 sinonim, lafaz الأسد  memiliki 500 sinonim, lafaz السيف memiliki paling kurang 1000 sinonim, dan kata الجمل memiliki 5644 sinonim.[8]
             Adapun kata yang memiliki arti lebih dari satu disebut musytarak al-Ma’na seperti قروء yang terkadang diartikan الحيض seperti pada hadis Nabi saw دعى الصلاة أيام أقرائك artinya “Tinggalkan shalat pada saat hari-hari haidmu”. Juga terkadang diartikan الطهور seperti pada ayat ثلاثة قروء terjemahannya “tiga kali suci”. Termasuk semua istilah dalam Alquran dan al-Sunnah memiliki dua arti yakni secara etimologi dan terminologi, seperti lafaz العقيقة secara etimologi berarti rambut yang tumbuh di kepala bayi yang baru dilahirkan.[9] Namun pada perkembangan selanjutnya lafaz itu mengalami pergeseran makna secara terminologi yakni do’a syukuran atas kelahiran seorang bayi yang dirangkaikan dengan penyembelihan hewan, pengguntingan rambut dan pemberian nama kepada bayi tersebut.[10]
             Dengan demikian, kejelian seorang mufassir atau mustanbith dalam memaknai teks/nash Alquran untuk menentukan kesesuaian makna  sangat dituntut. Masih banyak aspek-aspek kebahasaan yang patut dikuasai oleh seorang mufassir yang belum termuat dalam makalah ini.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka dapatlah ditarik tiga aspek kesimpulan yang dapat mewakili keseluruhan aspek yang termuat dalam makalah ini. Ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Aspek kebahasaan dalam Alquran adalah serangkaian aspek-aspek bahasa Arab yang memiliki objek kajian secara terpisah antara satu dengan yang lain. Aspek-aspek tersebut antara lain: Ilmu Nahwu, Ilmu Saraf, Balaghah, Manthuq, Ulum al-Urudh.
  2. Aspek kebahasaan memiliki pengaruh yang signifikan dalam menafsirkan Alquran, dengan demikian perbedaan penafsiran ayat Alquran kerap kali disebabkan oleh perbedaan dalam menggunakan pendekatan aspek kebahasaan (al-Qawa’id al-Lughah).




[1]Agus Fahri Husein, 1989: 145.
[2]H.M. Quraish Shihab, 1994: 44.
[3]Kaidah qur’aniyah adalah kaidah-kaidah kebahasaan dalam Alquran yang tidak tercakup dalam kaidah-kaidah karena keunikannya, seperti fi’il madhi menerangkan kontinuitas suatu peristiwa, sebaliknya fi’il mudhari menerangkan peristiwa masa lampau, dsb)
[4]Kaidah bahasa Arab adalah kaidah-kaidah baku yang disusun berdasarkan frekuensi keterulangan makna tertentu yang terkandung dalam lafaz Alquran. Penyusunan kaidah-kaidah tersebut pada prinsipnya dimaksudkan untuk mempermudah pengkaji bahasa Arab dalam memberikan pemaknaan terhadap lafaz-lafaz Alquran. Kaidah bahasa Arab ini terbagi dalam dua kelompok pembahasan, yaitu ilmu nahwu yang membicarakan i’rab al-kalimah  dalam jumlah dan ilmu sarf yang khusus membahas tentang perubahan bentuk kata. Dalam linguistik umum, kedua bidang kajian ini disebut morfosintactic yaitu gabungan antara sintaksis dan marfologi. David Crystian, 1984: 201.
[5]Keterangan tersebut dari aspek 1-7 dapat dibandingkan dengan penjelasan Ahmad Thib Raya, “Aspek-aspek Kebahasaan di dalam Alquran dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran dan Istimbath Hukum”, Makalah,  disampaikan pada Orasi Ilmiah dalam rangka Pembukaan Kuliah PPS IAIN Alauddin Makassar, h. 3-5.
[6]Ibid: 6
[7]al-Tabarsi, 1986: 25-6.
[8]Ali Abd al-Wahid Wafi, 1962: 162-3.
[9]Ahmad Thib Raya, op. cit: 9.
[10]Arti العقيقة secara syar’iy dapat ditelusuri lebih lanjut pada kitab-kitab fikih seperti Wahbah al-Zuhaili, 1989: 636-43. untuk telaah lebih lengkap mengenai lafaz musytarak al-Ma’na dapat dijumpai pada kitab seperti Mustafa Ibrahim al-Zulmi, Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha, h. 150.

1 komentar:

  1. السلام عليك
    لو سمحت، أستأذن يا صاحب المقالة، أريد استخدام مقالتك في الندوةعن أهمية القواعد في فهم كتاب الله

    شكرا جزاك الله خيرا وبرك لكم

    BalasHapus